Bisniscorner.com– Sejak COVID-19 menjadi pandemi global, belum
ada obat atau vaksin untuk mengobati virus ini. Seluruh peneliti di
berbagai negara termasuk Indonesia berupaya mencari kandidat obat COVID-19 yang
bisa digunakan, baik dari tanaman, mikroorganisme, maupun biota laut.
Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Kimia mencoba mengembangkan tanaman
ketepeng badak (Cassia alata) dan daun benalu (Dendrophtoe sp) sebagai
obat herbal dalam pengobatan COVID-19.
Organisasi Kesehatan Dunia
atau World Health Organization (WHO) pada tanggal 13 Maret 2020 menetapkan Corona
Virus Desease (COVID-19) sebagai pandemi di seluruh dunia.
Berdasarkan data, jutaan
pasien telah terinfeksi dengan angka kematian mencapai ratusan ribu jiwa. Di
Indonesia, tercatat hingga saat ini, pasien positif terinfeksi lebih dari 10
ribu jiwa, dengan angka kematian hampir mencapai 1000 jiwa. COVID-19 yang
disebabkan oleh virus SARS-Cov-2 termasuk jenis virus baru yang bersifat
dinamis. Oleh karena itu belum ada formula obat atau vaksin yang tepat untuk
mengobati virus ini yang direkomendasikan WHO.
Kepala Pusat Penelitian Kimia,
Yenny Meliana mengatakan, LIPI tengah bekerja sama dengan Departemen
Mikrobiologi FKUI dan Kyoto University mengembangkan tanaman sebagai anti
virus. Tanaman tersebut adalah ketepeng badak (Cassia alata). “Pada pandemi
COVID-19 saat ini belum ada obat standar dalam pengobatan, sehingga Pusat
Penelitian Kimia LIPI mencoba mengembangkan ekstrak ketepeng badak dan daun
benalu (Dendrophtoe sp) sebagai alternatif dalam pengobatan COVID-19,” ungkap
Yenny, Selasa (12/05/2020)
Menurutnya senyawa-senyawa
yang terdapat didalam tanaman ketepeng badak dan benalu dilaporkan mempunyai
aktivitas anti viral, senyawa tersebut yang diprediksi dapat berperan aktif
sebagai antiviral adalah kaempherol, aloeemodin, quercitrin, dan qurcetin.
Peneliti bidang farmasi kimia
LIPI, Marissa Angelina menyebutkan, langkah-langkah yang telah dilaksanakan
pada pasien COVID-19 terbatas pada tindakan preventif dan suportif yang
dirancang untuk mencegah komplikasi dan kerusakan organ lebih lanjut.
“Beberapa studi pendahuluan
telah menguji kombinasi agen potensial seperti protease inhibitor
lopinavir/ritonavir, yang umumnya digunakan untuk mengobati virus HIV,
digunakan untuk pengobatan pasien yang terinfeksi COVID-19, juga adanya
penggunaaan obat malaria yaitu qlorokuin dan imodin,” jelasnya.
Menurut Marissa, pengembangan
bahan baku obat dan obat herbal terstandar merupakan upaya yang sangat penting
dalam mendukung kemandirian obat Indonesia yang memiliki berbagai
keanekaragaman hayati. Pengembangan bahan baku obat berbasis tanaman berpotensi
untuk jangka panjang dan memiliki peluang besar bagi industri bahan baku obat
di Indonesia. Salah satu pemanfaatan keanekaragaman hayati adalah tanaman yang
mengandung komponen utama flavonoid dan flavonoid glikosida yang banyak
dilaporkan sebagai zat aktif utama sebagai anti virus atau antiviral. (Ccp)