Bisniscorner.com – Sensor mandiri adalah upaya yang dilakukan anggota masyarakat untuk memilah dan memilih tontonan sesuai klasifikasi usia. Hal ini semakin dibutuhkan di tengah perubahan arus komunikasi yang semakin terbuka yang memungkinkan setiap individu mengakses dan mendapatkan berbagai jenis tayangan melalui platform digital.
Mengingat arti penting sensor
mandiri, Lembaga Sensor Film (LSF) merasa perlu untuk menjadikannya sebagai
sebuah gerakan agar proses diseminasi dan literasi mengenai arti penting sensor
mandiri semakin cepat menyebar di tengah masyarakat.
Dengan demikian, LSF secara
sadar menetapkan sensor mandiri sebagai program unggulan. Diharapkan dalam
waktu dekat gerakan sensor mandiri dapat dicanangkan sebagai gerakan nasional
oleh Presiden Joko Widodo.
Demikian disampaikan Ketua LSF
Rommy Fibry dalam webinar bertema “Sensor Mandiri dan Literasi Media Pemuda
untuk Indonesia Maju” yang diselenggarakan secara virtual, Selasa (25/8).
“Di harapkan masyarakat mampu
memilah dan memilih tontonan yang sesuai dengan klasifikasi umur melalui
berbagai sosialisasi yang digelar oleh LSF,” kata Rommy.
Dia berharap, gerakan sensor
mandiri yang sedang dikembangkan LSF ini tidak dipahami sebagai aksi “lempar
body”.
“Dengan gempuran yang semakin
menjadi, semua film dengan mudah ditemukan di platform digital di masa
sekarang, kalau masyarakat mengerti tentang sensor mandiri, ini akan menjadi
rem bagi mereka semua ketika akan menonton film,” ujar Rommy.
“Karena itu tidak mungkin LSF
bekerja sendirian, tentu harus berkerja sama dengan parlemen, kementerian atau
lembaga negara lain, organisasi kemasyarakatan, berbagai komunitas, para sineas
dan sebagainya untuk mempromosikan sensor mandiri kepada masyarakat,”
sambungnya.
Di dalam webinar ini, LSF
mengundang anggota Komisi X DPR RI Prof. Zainuddin Maliki sebagai pembicara
kunci. Sementara pembicara lain adalah Deputi Menpora RI Asrorun Niam, Ketua
Umum Pemuda Muhammadiyah Sunanto, Wakil Sekjen GP Anshor Wibowo Prasetyo,
aktris dan produser film Lola Amaria, juga Ketum Jaringan Media Siber Indonesia
(JMSI) Teguh Santosa, dan anggota LSF Mukayat Al Amin.
Rommy juga berpesan kepada
para sineas bahwa sensor mandiri sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengekang
kreativitas.“Sensor mandiri tidak bermaksud untuk menyensor karya sineas,
tetapi sineas diajak untuk mengkampanyekan sensor mandiri,” ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa saat ini
LSF memiliki paradigma baru dalam melakukan sensor. Sensor tidak dilakukan
dengan memotong dan menggunting pita film seperti di masa lalu. Dalam melakukan
sensor, LSF akan melihat dan mencatat time code film dari awal sampai akhir.
Kemudian time code untuk adegan yang dianggap melanggar regulasi akan dicatat
dan disampaikan kepada pemilik film.
“Pemilik film boleh
mempertanyakan, dan memprotes pun tidak ada masalah. Silakan datang ke LSF
untuk mendiskusikan catatan yang diberikan tadi,” kata Rommy.
Pada bagian ini Rommy menjawab
pertanyaan yang diajukan oleh produser film Lola Amaria.
Dikatakan Rommy, LSF menyadari
bahwa film bukan sesuatu yang matematis, karena merupakan produk seni budaya
yang membutuhkan cita, rasa, dan karsa tertentu.
Konsekuensi Konvergensi
Ketua Umum JMSI Teguh Santosa
dalam kesempatan yang sama mengatakan bahwa sensor mandiri adalah konsekuensi
dari konvergensi media yang tengah terjadi.
Teguh mengutip buku karya
Yasraf Amir Piliang yang berjudul “Sebuah Dunia yang Dilipat” yang ditulis
tahun 1998. Di dalam buku itu antara lain diilustrasikan perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi yang membuat dunia dapat dilipat seperti kertas dan
disimpan di dalam saku.
“Dengan demikian, ia (sensor
mandiri) menjadi semacam software yang harus dimiliki setiap individu yang
berinteraksi dengan dunia digital,” ujar Teguh.
“Sehingga setiap tontonan yang
kita saksikan berdampak positif dan konstruktif, tidak destruktif, apalagi bagi
bangsa yang sangat beragam ini,” sambungnya.
LSF, sambungnya, dapat
melakukan sensor untuk film-film yang ditayangkan di bioskop. Tetapi “gunting
sensor” LSF tidak dapat menjangkau tayangan-tayangan yang disebarkan dengan
menggunakan platform digital, seperti oleh Netflix atau Youtube.
Adapun sineas Lola Amaria
mengatakan, proses pembuatan film memakan waktu yang cukup lama. Dalam proses
pembuatan, film maker sangat berhati-hati. Sineas juga memiliki kesadaran untuk
melakukan sensor mandiri atas karya-karya film yang diproduksi.
“Saya sebagai pembuat film
sangat sadar bahwa film yang saya buat ini masuk akal dan penuh dengan
pertimbangan yang ukurannya bukan lagi (memenuhi kriteria) sensor oleh LSF,
tetapi disensor oleh diri sendiri karena tanggung jawabnya ke masyarakat.
Sebagai sineas saya menjaga agar efek yang sampai ke masyarakat positif,” urai
Lola Amaria. (Rls)