Bisniscorner.com – Perjuangan kesetaraan gender dalam STEM (Sains, Teknologi, Teknik dan Matematika) semakin mendapatkan perhatian dunia dan semakin banyak sosok wanita hebat dalam STEM. Meski demikian, perjuangan ini masih jauh dari garis akhir. Penelitian dunia menunjukkan bahwa STEM masih didominasi oleh laki-laki, dan hanya ada 10 – 28% perempuan di sektor STEM.
“Terlalu banyak perempuan yang
ditahan oleh bias, norma sosial dan ekspektasi yang mempengaruhi kualitas
pendidikan dan mata pelajaran yang mereka pelajari,” kata UNESCO, atau
singkatnya, stereotip. UNESCO berpendapat bahwa dengan menghancurkan stereotip,
akan menjadi kunci untuk mempersempit kesenjangan gender di STEM.
Kyra, siswi kelas 11 sekolah
Sinarmas World Academy (SWA) yang berhasil memenangkan medali emas dalam ajang
kompetisi internasional matematika: IB Mathematics Competition TI-Nspire 2020,
mengakui meski di era modern ini perempuan telah melangkah maju dan meninggalkan
persepsi kuno tentang ketidaksesuaian perempuan di sektor STEM, namun dampak
dari stereotip yang dipraktekkan selama berabad-abad masih terasa.
“Saya beruntung berada di
lingkungan yang selalu mendukung perempuan berkarya dan berprestasi dalam STEM,
tapi tidak semua seberuntung saya. Untuk meningkatkan partisipasi perempuan di
STEM, kita harus mengakui bahwa masalah stereotip ini memang ada. Kita juga
harus mendorong para anak perempuan untuk lebih tertarik pada STEM, karena
dengan begitu akan memberikan mereka pilihan untuk mengejar STEM di masa depan,”
paparnya.
Callista, siswi kelas 11 yang
juga menjadi pemenang medali emas dalam ajang kompetisi internasional
matematika: IB Mathematics Competition TI-Nspire 2020, mengajak para orangtua
untuk mengenalkan matematika kepada anak sejak usia dini. “Saya terbiasa
melihat buku matematika yang penuh dengan simbol, hal ini membuat saya tertarik
pada matematika,” ujarnya.
Lebih lanjut Callista
mengatakan, bermula dari ketertarikan ini, Callista semakin menyadari bahwa
matematika bukan hanya angka, penjumlahan, dan pengurangan dan merupakan konsep
yang menarik untuk dijelajahi.
“Pada awalnya, matematika
merupakan sebuah bahasa, yang merupakan alat untuk pemahaman dan komunikasi
global karena dapat diterapkan di banyak bidang dan dapat dipahami oleh siapa saja
bahkan jika ada hambatan komunikasi lain, konsep inilah yang membuat Callista
tertarik mengeksplorasi matematika lebih dalam lagi,” terangnya.
Elma, salah satu guru
matematika perempuan di SWA mengakui bahwa stereotip berperan penting dalam
kesenjangan gender di STEM.
“Ini bukan tentang anak
perempuan yang kurang mampu dalam matematika daripada anak laki-laki. Dalam
banyak kasus, anak perempuan tidak memiliki cukup minat untuk terus mencoba.
Masyarakat secara tidak sadar mendefinisikan apa yang seharusnya seorang anak
perempuan kuasai, “untuk mematahkan stereotip ini, masyarakat harus
bekerja sama untuk membuka peluang agar anak perempuan diberikan kesempatan
yang sama untuk mengeksplorasi, menemukan diri mereka dan berprestasi dalam
definisi mereka sendiri di STEM ini,” ujar Elma.
Menurut laporan UNESCO dalam
Cracking the Code: Pendidikan anak perempuan dan perempuan di STEM, sistem
pendidikan dan sekolah memainkan peran utama dalam menentukan minat anak
perempuan dalam STEM. Guru dan lingkungan belajar secara keseluruhan sangat
penting dalam memastikan keterlibatan anak perempuan dengan STEM, dan bahwa
guru STEM perempuan memiliki pengaruh positif pada kinerja dan keterlibatan
siswi dalam studi dan karir STEM.
“Saya beruntung berada di
lingkungan Sinarmas World Academy (SWA) di mana tidak ada stereotip gender,
tetapi saya sadar bahwa di banyak komunitas lain hal ini tidak terjadi. Di
sini, di SWA, saya adalah salah satu dari banyak guru STEM wanita. Peran kami
sebagai guru pelajaran STEM dapat meyakinkan siswi kami bahwa mereka memiliki
kesempatan untuk unggul dalam pelajaran dan karir STEM,” tambah Elma.
Sosok panutan wanita memiliki
dampak yang luar biasa pada generasi muda, dan mungkin merupakan salah satu
faktor motivasi terbesar, yang memungkinkan mereka untuk memvisualisasikan masa
depan mereka di STEM.
Joseph Lathan, Direktur
Akademik dan Magister Pendidikan Universitas San Diego mengatakan, stereotip
gender adalah salah satu faktor utama dalam rendahnya jumlah perempuan yang
memasuki bidang terkait STEM. Guru dari segala jenjang pendidikan, dapat
memainkan peran yang luar biasa dalam membantu mengurangi stereotip ini dan
mendorong anak perempuan untuk mempelajari dan pada akhirnya memiliki karir di
bidang STEM.
Namun begitu, minat saja tidak
cukup untuk melawan stereotip. Minat harus bisa dibangun menjadi sebuah
semangat dan kecintaan, dan itu semua perlu dipupuk dan dipelihara di
lingkungan yang tepat.
Ambil contoh Alisa, siswi SWA
kelas 10, dan merupakan salah satu dari banyak siswi SWA yang menemukan passion
mereka di bidang STEM. Minatnya terhadap STEM dimulai dari bermain Lego, yang
lalu dengan dukungan positif dari keluarga dan sekolah, dia dipaparkan pada
dunia teknologi, teknik, robotik dan pemrograman. Paparan dan pengalaman
positif ini yang akhirnya tumbuh menjadi kecintaan Alisa pada STEM.
“Banyak anak perempuan yang
awalnya tertarik pada STEM, tapi saat mereka tumbuh dewasa, stereotip
menghalanginya. Di sinilah pentingnya dukungan dan membangun kepercayaan mereka
pada subjek yang secara historis lebih didominasi laki-laki,” kata Elma.
Alisa adalah ketua dari
kelompok RoboKnights yang memenangkan ajang robotik prestisius dunia, World
Robotic Olympiad 2020-X Canada, dan salah satu siswi yang berpartisipasi dalam
Sci-Teens Challenge 2020, dengan proyeknya “A Knifeless Future of Surgery”, dan
dia juga menjadi pembicara untuk TEDx Talk 2020, Breaking Boundaries:
Maximizing Growth in Technology and Innovation.
Mematahkan stereotip gender
dalam STEM merupakan usaha kolektif masyarakat terutama sekolah. Sudah saatnya
kita mendidik dan memberdayakan generasi penerus tanpa memandang gender.
Bersama memberi kesempatan dan dukungan yang sama untuk menciptakan dunia di
mana lebih banyak anak perempuan yang terinspirasi menjadi sosok berpengaruh di
dunia STEM. (Rls)